Rabu, 27 November 2013

MORALITAS KORUPTOR ( TUGAS KE-4 )


ABSTRAKSI

Indriyani Utami Dewi. 19210772
MORALITAS KORUPTOR
Tugas Softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2013
Kata kunci : KORUPSI .


Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.




Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangt-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
            Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak.
            Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.
            Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
           
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak Korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis
2. Apa penyebab terjadinya korupsi
3. Contoh Kasus

1.3. Tujuan Masalah
1. mengetahui dampak negatif korupsi
2. Apa Penyebab terjadinya korupsi
3. Mengetahui contoh kasus mengenai korupsi di indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Etika
            Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkatian dengan kebiasaan hidup yang baik, baik dari seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianur dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai suatu kebiasaan.
            Bertens juga menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu (1) etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules of conduct.
            Tedapat dua teori etika yang disebutkan oleh Keraf yang dikenal sebagai etika deontologi dan etika teleologi. Pertama, etika deontologi, istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani yang berarti kewajiban. Karena itu etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.
            Kedua, etika teleologi, etika ini justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi sebagaimana dimkasud Kant.

2.2   Konsep Korupsi
Korupsi berasal dari kata Corruption yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruption berarti penyogokan. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan­-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim dalam Lubis menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.

2.3  Konsep Penyalahgunaan Wewenang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian penyalahgunaan wewenang adalah perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau menyalahagunakan kekuasaan untuk membuat keputusan. Perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan tercela, karena amanah yang diberikan kepada pejabat yang bersangkutan disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Perbuatan tidak amanah tersebut didasarkan kepada misalnya Surat Perintah (SP) yang merupakan wewenang dan amanah yang diberikan kepadanya disalahgunakan. Korupsi dan komersialisasi jabatan disinyalir telah menjalar di segala bidang, dan dilkaukan baik dikalangan atas maupun bawahan, sehingga merupakan perbuatan kolektif. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi negara dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan - ­peraturan lain;
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
            Dalam praktek, untuk rnengetahui adanya unsur "penyalahgunaan kewenangan" harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan wewenang serta tanggung jawab tersangka/terdakwa sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatumya. Selanjutnya dilihat apakah dalam kenyataannya tersangka/terdakwa melakukan atau tidak apa yang menjadi tugas dan wewenangnya tersebut, dan apakah ada prosedur yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menyalahgunakan kekuasaan, sewenang-wenang menggerakkan kekuasaan dengan cara memaksa orang lain untuk memberi sesuatu, untuk membayar dan menerima pernbayaran dan untuk mengerjakan sesuatu.

BAB III
METODE PENELITIAN


3.1.Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah : Moralitas Koruptor

3.2.      Data yang Digunakan
Data yang digunakan oleh penulis :
Data Sekunder berupa data kualitatif, yaitu dengan mencari data-data tentang Korupsi dan moralitas

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan Masalah
            Akhir – akhir ini, banyak berita mengenai kasus korupsi yang ada di media, mulai dari kalangan atas (pejabat, wakil rakyat, dll), kalangan menengah (PNS, karyawan, dll) dan kalangan bawah. Bukan hanya materi berbentuk uang yang bisa dikorupsi, tetapi waktupun juga dapat dikorupsi. Misalnya jam kerja dimulai dari jam delapan hingga jam empat sore, tetapi banyak karyawan yang sudah pulang dari jam empat kurang. Itulah contoh korupsi sederhana yang mungkin biasa dilakukan tanpa disadari.
Pengertian dari korupsi adalah perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja karena suatu kepentingan atau tujuan. Korupsi berasal dari dua kata “com” dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk secara kolektif. Pandangan secara umum, korupsi merupakan manipulasi uang Negara oleh pejabat pemerintah. Beberapa bentuk korupsi, seperti:
  1. Manipulasi
  2. Suap / penyogokan
  3. Penyalahgunaan kekuasaan
  4. Nepotisme
  5. Dll
Bentuk atau praktik korupsi yang paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu suap atau biasa dikenal penyogokan. Suap di Indonesia sudah semakin marak dilakukan, bahkan semakin menjadi. Sogokan atau suap tidak hanya terjadi pada instansi pemerintah dan pelaku bisnis saja, tetapi juga dalam hubungan antara pelaku bisnis maupun dalam kehidupan sehari – hari.
Dampak dari suap dan korupsi terlihat dalam kondisi makro perekonomian Indonesia. Untuk tahun 2004 Indonesia dipersepsikan berada diurutan ke 6 sebagai negara korupsi dari indeks persepsi korupsi. Dampak berupa kebocoran dalam arus dana perekonomian Indonesia sangat tinggi karena sifat perekonomiannya menjadi ekonomi mencari ‘rente’ (rentseeking). Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi, khususnya bisnis di Indonesia telah hilang dan menjadi milik pribadi.
Contoh kebocoran arus dana yang berkaitan dalam kegiatan bisnis dapat terjadi dibeberapa titik, seperti:
1. Dana pemerintah untuk pemasokan barang, jasa dan proyek yang dialirkan ke bisnis
2. Dana bisnis untuk pembayaran pajak, perolehan berbagai izin dan hak spesial lainnya dari pemerintah
3. Dana masyarakat untuk investasi yang mengalir ke bisnis dikenakan ‘markup’
4. Dana yang mengalir untuk transaksi antar – bisnis
Efek suap yang utama adalah timbulnya biaya yang tinggi dan berakibat makin tingginya nilai harga barang dan jasa karena harus menutup biaya tidak langsung yang berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa. Oleh karena itu, konsumen akan dirugikan. Penyuapan semakin meningkatkan ketidakpastian karena persaingan pasar sudah menjadi tidak sehat. Keberhasilan tergantung pada kekuatan dan kesanggupan melawan suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa.
Suap merupakan penawaran atau penerimaan hadiah, pinjaman, pembayaran, imbalan atau keuntungan lainnya yang ditujukan kepada siapapun sebagai bujukan untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak sah atau pelanggaran kepercayaan, dalam tindakan berbisnis. Tindakan suap atau penyogokan merupakan upaya mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar dan tidak sah. Yang dimaksud dengan ‘tidak wajar’ dan ‘tidak sah’ adalah ketika terjadi konversi dana atau barang yang diberikan menjadi kekuasaan untuk mengambil keputusan yang bersifat tidak adil dan tidak transparan.
Suap merupakan tindakan yang bukan saja tidak mengikuti kaidah etika bisnis tetapi juga memiliki implikasi hukum, khususnya bila suap dilakukan pada pegawai negeri atau pejabat negara sebagaimana tertuang dalam naskah Undang Undang 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa faktor yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu:
  1. Faktor kebutuhan
Merupakan faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk memiliki sesuatu namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
  1. Faktor tekanan
Merupakan faktor yang biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau bahkan atasan sendiri yang tidak bisa dihindari.

  1. Faktor kesempatan
Merupakan faktor yang biasanya dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya, walaupun dengan cara yang salah dan melanggar undang – undang.
  1. Faktor rasionalisasi
            Merupakan faktor yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati / walikota, ditingkat kabupaten / kota atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila memiliki rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia seorang pejabat pemerintahan.
            Untuk menangani hal di atas, diperlukan dukungan dan tindak yang tegas baik dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakat sekitar. Adanya sanksi hukum yang jelas, terbuka, transparan dengan kedudukan yang sama untuk setiap orang, baik pejabat atau masyarakat.
            Dampak korupsi terhadap bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
            Bagi perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri sendiri.

Pengaruh Korupsi terhadap kegiatan bisnis :
  •  Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
  • Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
  •  Korupsi menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
  •  Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Cara Memberantas Tindak Pidana Korupsi :
  •  Strategi Preventif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-halyang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yangterindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkanpenyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapatmeminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya inimelibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil danmampu mencegah adanya korupsi.
  • Strategi Deduktif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agarapabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebutakan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya danseakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengandasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepatmemberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangatmembutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
  • Strategi Represif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkanuntuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepatkepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiranini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikandan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapatdisempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebutdapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harusdilakukan secara terintregasi.
4.1. Penyebab Terjadinya Korupsi
            Dari aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat. Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat.
Keseluruhan dampak dari tindakan korupsi dalam ilmu kriminologi, dipastikan dapat terjadi karena dua hal, yakni:
  • Pertama, adanya niat (Intention). Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb.
  • Kedua, adanya kesempatan (Moment). Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll..
            Berkaitan dengan itu, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi, M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan, D=Discreation/Kewenangan,A=Accountability/pertanggungjawaban). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: Pertama, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang
4.4 Contoh Kasus
DEMOKRASI yang kita bangga-banggakan selama ini, pada satu sisi tidak membawa dampak menggembirakan bagi bangsa. Reformasi politik, diakui atau tidak, telah menciptakan demokrasi secara langsung, kebebasan berpendapat, dan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Tetapi siapa nyana ternyata moral pejabat telah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU), KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Jumat (11/10) mengatakan, banyaknya kasus korupsi belakangan ini menunjukkan moralitas pejabat kita sudah merosot.
“Apa artinya demokrasi kalau para pejabatnya korup dan rakyat tidak percaya lagi pada penegak hukum? Untuk membangun kembali kewibawaan hokum, kita perlu gerakan reformasi total termasuk reformasi moral,” katanya.
Dia menambahkan, bangsa ini juga memerlukan nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Said Aqil Siroj berpendapat, reformasi hukum terutama pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih tersendat. Jika mau jujur mengatakan demokrasi yang kita bangun pasca-Orde Reformasi malah melahirkan sejumlah persoalan yang membuat kita prihatin. Salah satu wujud demokrasi yang sering kita puji adalah desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Kepala daerah dipilih langsung. Namun, siapa sangka dalam perjalanan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung malah melahirkan banyak sengketa. Akhirnya, bisa ditebak kemudian munculnya sengketa pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan peluang korupsi. Kasus ditangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, di rumah dinasnya pada 3 Oktober 2013 karena diduga telah menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menjadi contoh paling anyar. Namun, lepas dari kasus tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa moral pejabat negara telah berada pada titik nadir yang membahayakan. Kita mencatat sebelum mencuatnya kasus Akil Mochtar juga terdapat pejabat negara (termasuk tokoh partai politik dan pejabat tinggi di Polri), masuk dalam deretan pejabat yang bermoral buruk.
Masyarakat masih ingat pada Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. Lalu, ada pula Mantan Menpora Andi Mallarangeng yang Jumat (11/10) gagal ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua tokoh ini terlibat dalam kasus proyek Hambalang, Bogor. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga menggemparkan para kader partai Islam ini. Betapa tidak mengejutkan, Luthfi bersama Ahmad Fathanah didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 1,3 miliar, bagian dari total imbalan Rp 40 miliar yang dijanjikan Dirut PT Indoguna Utama terkait pengurusan persetujuan penambahan kuota impor daging sapi. Kasus lainnya terjadi pada Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Kepala Korps Lantas Polri Irjen Djoko Susilo. Irjen Djoko telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Semua hartanya terancam disita Negara. Melihat serangkaian kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara termasuk tokoh partai politik dan kalangan akademikus itu, benar adanya moral pejabat di negeri ini sudah merosot bukan kepalang. Meski mereka sudah menduduki jabatan tinggi dan bergaji besar, tetapi masih bernapsu memperbanyak harta dengan cara tidak halal. Kondisi ini menggambarkan krisis moral benar-benar melanda negeri ini. Herannya lagi, dalam kesehariannya para koruptor tersebut aktif menjalankan ritual keagamaan, namun hatinya dekat dengan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi terus dilakukan dengan sadar. Tepat seperti yang dikemukakan Ketua PBNU, KH Said Aqil Siroj, sudah saatnya bangsa ini memerlukan reformasi moral, nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Tentunya ini menjadi tugas para pemuka agama untuk selalu mengingatkan melalui pesan-pesan moral. Langkah itu juga harus dibarengi dengan penegakan hukuman yang berat bagi para pejabat negara yang terbukti korupsi. Reformasi hokum, terutama pemberantasan KKN, sudah harus menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Kasus yang ada di indonesia saat ini adalah :
1. KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi. Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro, Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
“Ya, benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya, Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel. (Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
Menurut Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja, kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
Terhitung 11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel. Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan suami Airin.
2. Ini alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus suap SKK Migas
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya memang tengah mendalami peran PT Pertamina dalam kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK memanggil Direktur Utama Karen G Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.
“Jadi memang kami mempelajari keterlibatan Pertamina dalam penjualan, pelelangan, tender di SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin (18/11) malam.
Menurut Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka. Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut belakangan ini dari keterangan dan pemeriksaan kasus ini.
“Dia kan muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.
Namun, Busyro belum berani memastikan apakah Karen akan menjadi tersangka berikutnya. Karena Karen masih baru menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali dipanggil KPK.
“Karen ini kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.
Dalam dakwaan Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei 2013 PT Pertamina mengikuti rapat bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas dan SKK Migas. Rapat itu disimpulkan, Kondensat Senipah bagian negara dengan volume 300 ribu barel tidak dapat diolah Kilang Pertamina. Sebab, adanya keterbatasan penyerapan kilang atas volume Kondensat Senipah yang tersedia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pendapatan negara, maka rapat memutuskan dilakukan lelang terhadap Kondensat Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk mendapat penawaran terbaik. Dalam dakwaan Simon juga terungkap Kernel Oil menyuap buat mendapat jatah Kondensat Senipah. PT Pertamina juga diketahui pernah bekerja sama dengan PT Parna Raya Group dalam pengadaan BBM bersubsidi untuk nelayan. Komisaris PT Parna Raya Artha Meris Simbolon sendiri, saat ini pun telah dicegah KPK.
      3.Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi !!
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dampak korupsi Bagi perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri sendiri.
5.2 SARAN
Hukum di negara yang mengatur tentang korupsi harus lebih kejam agar para-para koruptor jera dan tidak bisa melakukan kegiata korupsi lagi yang merugikan semua pihak ini

SUMBER:
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/19/063530678/KPK-Beri-Isyarat-Ratu-Atut-Terseret-Kasus-Korupsi
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-kpk-panggil-dirut-pertamina-di-kasus-suap-skk-migas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar