Kamis, 05 April 2012

ZAMAN OTORITER

OTORITER

Sistem otoriter adalah rejim politik yang ditandai dengan pemusatan kekuatan politik di tangan sekelompok kecil elit yang tidak memberikan pertanggung-jawaban kepada masyarakat secara institusional. Jadi mereka tidak memiliki hal-hal yang menandai orde-orde demokratik liberal khususnya kebebasan sipil yang luas, rule of law, kompetisi antar-partai dan pemerintahan perwakilan. Ada berbagai bentuk pemerintahan otoriter. Pemerintahan bisa dijalankan oleh militer atau politisi sipil, dan kekuatan politik bisa dijalankan secara langsung oleh individu atau melalui sebuah partai politik. Barangkali perbedaan yang paling penting pada rezim otoriter adalah pada dimensi-dimensi despotisme dan penetrasi (Mann 1986). Despotisme adalah seberapa jauh kekuatan politik itu dimainkan dan dijalankan tanpa batas, dan penetrasi adalah seberapa jauh negara otoriter itu mengatur kehidupan sehari-hari warganya. Pada salah satu ujung kontinum adalah kediktatoran partai-tunggal; ada yang sama sekali tidak rnemiliki batasan dalam menjalankan kekuasaan politiknya serta kekerasan, dan ada juga yang membuat batasan, seperti Meksiko. Di ujung kontinum yang berlawanan adalah negara otoriter, sebagaimana kita temukan dalam bentuk muminya pada Rusia Stalin sejak 1927 hingga 1953. Totaliterisme menggambarkan diktator partai-negara yang tersentralisir dan jalin-menjalin, yang menggunakan teror, organisasi yang men-detail, dan indoktrinasi ideologis untuk mengen-dalikan secara terang-terangan segenap aspek kehidupan sosial. Pada prakteknya, hal ini berarti kontrol dijalankan tidak hanya terhadap seleksi elit politik dan agenda politik, tapi juga terhadap masyarakat dan perekonomian lewat kontrol pada media, elaborasi sosialisasi publik, pencegahan mandirinya suatu organisasi dari struktur partai negara dan terakhir kepemilikan dan perencanaan ekonomi (Arendt 1951; Friedrich dan Brezinski 1956).
Jadi, dalam totaliterisme, batas-batas yang populer memisahkan politik, ekonomi, dan masyarakat menjadi lenyap. Ini memungkinkan penetrasi dan despotisme yang menjadi ciri khas dalam kediktatoran modern itu. Munculnya negara sebagai sebuah bentuk organisasi politik berbarengan dengan munculnya otoritarianisme. Dengan demikian, otoritarianisme sama tuanya dengan negara itu sendiri, karena lewat praktek-praktek politik otoriterlah negara mulai terbentuk (Anderson 1974; Tilly 1975). Akan tetapi, dimulai pada abad delapan-belas di Eropa, negara-negara mulai berbeda satu dengan yang lain dalam hal pertanggungjawabannya kepada masyarakat. Proses ini yang mau tidak mau mendorong Inggris dan Prancis, sebagai contoh, menumbuhkan demokrasi melahirkan perdebatan-perdebatan hangat tentang munculnya demokrasi versus konsolidasi pemerintahan otoriter dalam bentuk fasisme dan komunisme (Moore 1967; Rueschemeyer et. al. 1992). Perdebatan-perdebatan itu juga diwarnai oleh dua isu lain. Salah satunya adalah mengapa beberapa negara demokrasi terlibat dalam sistem otoriter (Collier 1979; Linz dan Stepan 1978; Luebbert 1991). Isu lain adalah mengapa sejumlah sistem otoriter runtuh dan memberi peluang pada orde-orde politik yang lebih liberal (Bunce 1985; Di Palma 1990).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar