ABSTRAKSI
Indriyani Utami Dewi. 19210772
MORALITAS KORUPTOR
Tugas Softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi,
Universitas Gunadarma 2013
Kata kunci : KORUPSI .
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya
dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional.
Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada
dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun
korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur
pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir
tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang eksak. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah
dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak
orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas
pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia
terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Akhir-akhir
ini masalah korupsi sedang hangt-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media
massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya
tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra.
Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak
sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada
hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan,
dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan
pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak
mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang eksak.
Namun
karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak
jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa
merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya
tetapi sudah membudidaya.
Disamping
itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses
perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap
hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit
yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status
sosial yang tinggi dimata masyarakat.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana dampak Korupsi
terhadap sebuah kegiatan bisnis
2. Apa penyebab terjadinya korupsi
3. Contoh Kasus
1.3. Tujuan
Masalah
1. mengetahui dampak negatif korupsi
2. Apa Penyebab terjadinya korupsi
3. Mengetahui contoh kasus mengenai korupsi di
indonesia
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1 Konsep Etika
Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha) berarti adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini etika berkatian
dengan kebiasaan hidup yang baik, baik dari seseorang maupun pada suatu
masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan
nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala
kebiasaan yang dianur dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari
satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam
perilaku berpola yang terus berulang sebagai suatu kebiasaan.
Bertens juga menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan
watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini
dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa etika
dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dengan
memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti
penting etika, yaitu (1) etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) etika sebagai kumpulan asas
atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat
seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of
Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau
rules of conduct.
Tedapat dua teori etika yang disebutkan oleh Keraf yang dikenal sebagai etika
deontologi dan etika teleologi. Pertama, etika deontologi, istilah tersebut
berasal dari bahasa Yunani yang berarti kewajiban. Karena itu etika deontologi
menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika
deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan
akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu
sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu
dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari
tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan
motivasi kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.
Kedua, etika teleologi, etika ini justru mengukur baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau
bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang
ditimbulkannya baik dan berguna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika
teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa
sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan
kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi sebagaimana
dimkasud Kant.
2.2 Konsep
Korupsi
Korupsi berasal dari kata Corruption
yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah
Hukum Latin Indonesia Corruption berarti penyogokan.
Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara
atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Banyak para
ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa
dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna
yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu
yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata)
untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim dalam Lubis menyatakan
bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang
yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
2.3 Konsep Penyalahgunaan
Wewenang
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian penyalahgunaan wewenang adalah
perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
menyalahagunakan kekuasaan untuk membuat keputusan. Perbuatan penyalahgunaan wewenang merupakan
perbuatan tercela, karena amanah yang diberikan kepada pejabat yang bersangkutan
disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Perbuatan tidak amanah tersebut
didasarkan kepada misalnya Surat Perintah (SP) yang merupakan wewenang dan
amanah yang diberikan kepadanya disalahgunakan. Korupsi dan komersialisasi
jabatan disinyalir telah menjalar di segala bidang, dan dilkaukan baik
dikalangan atas maupun bawahan, sehingga merupakan perbuatan kolektif. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline, pengertian
penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi negara dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
Penyalahgunaan
kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
undang-undang atau peraturan - peraturan lain;
Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Dalam
praktek, untuk rnengetahui adanya unsur "penyalahgunaan kewenangan" harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan
wewenang serta tanggung jawab tersangka/terdakwa sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatumya. Selanjutnya dilihat apakah dalam kenyataannya tersangka/terdakwa melakukan atau tidak apa yang menjadi tugas dan wewenangnya tersebut, dan apakah ada prosedur yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menyalahgunakan kekuasaan, sewenang-wenang menggerakkan kekuasaan dengan cara memaksa orang lain untuk memberi sesuatu,
untuk membayar dan menerima pernbayaran dan untuk mengerjakan sesuatu.
BAB III
METODE
PENELITIAN
3.1.Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah
: Moralitas Koruptor
3.2. Data yang Digunakan
Data yang digunakan oleh penulis :
Data Sekunder berupa data kualitatif, yaitu dengan
mencari data-data tentang Korupsi dan moralitas
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan Masalah
Akhir – akhir ini, banyak berita
mengenai kasus korupsi yang ada di media, mulai dari kalangan atas (pejabat,
wakil rakyat, dll), kalangan menengah (PNS, karyawan, dll) dan kalangan bawah.
Bukan hanya materi berbentuk uang yang bisa dikorupsi, tetapi waktupun juga
dapat dikorupsi. Misalnya jam kerja dimulai dari jam delapan hingga jam empat
sore, tetapi banyak karyawan yang sudah pulang dari jam empat kurang. Itulah
contoh korupsi sederhana yang mungkin biasa dilakukan tanpa disadari.
Pengertian
dari korupsi adalah perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa
saja karena suatu kepentingan atau tujuan. Korupsi berasal dari dua kata “com”
dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk secara kolektif. Pandangan secara
umum, korupsi merupakan manipulasi uang Negara oleh pejabat pemerintah.
Beberapa bentuk korupsi, seperti:
- Manipulasi
- Suap / penyogokan
- Penyalahgunaan kekuasaan
- Nepotisme
- Dll
Bentuk atau
praktik korupsi yang paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu suap atau
biasa dikenal penyogokan. Suap di Indonesia sudah semakin marak dilakukan,
bahkan semakin menjadi. Sogokan atau suap tidak hanya terjadi pada instansi
pemerintah dan pelaku bisnis saja, tetapi juga dalam hubungan antara pelaku
bisnis maupun dalam kehidupan sehari – hari.
Dampak dari
suap dan korupsi terlihat dalam kondisi makro perekonomian Indonesia. Untuk
tahun 2004 Indonesia dipersepsikan berada diurutan ke 6 sebagai negara korupsi
dari indeks persepsi korupsi. Dampak berupa kebocoran dalam arus dana
perekonomian Indonesia sangat tinggi karena sifat perekonomiannya menjadi
ekonomi mencari ‘rente’ (rentseeking). Dana yang seharusnya
diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi,
khususnya bisnis di Indonesia telah hilang dan menjadi milik pribadi.
Contoh
kebocoran arus dana yang berkaitan dalam kegiatan bisnis dapat terjadi
dibeberapa titik, seperti:
1. Dana
pemerintah untuk pemasokan barang, jasa dan proyek yang dialirkan ke bisnis
2. Dana
bisnis untuk pembayaran pajak, perolehan berbagai izin dan hak spesial lainnya
dari pemerintah
3. Dana
masyarakat untuk investasi yang mengalir ke bisnis dikenakan ‘markup’
4. Dana yang
mengalir untuk transaksi antar – bisnis
Efek suap
yang utama adalah timbulnya biaya yang tinggi dan berakibat makin tingginya
nilai harga barang dan jasa karena harus menutup biaya tidak langsung yang
berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa. Oleh karena itu, konsumen
akan dirugikan. Penyuapan semakin meningkatkan ketidakpastian karena persaingan
pasar sudah menjadi tidak sehat. Keberhasilan tergantung pada kekuatan dan
kesanggupan melawan suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa.
Suap
merupakan penawaran atau penerimaan hadiah, pinjaman, pembayaran, imbalan atau
keuntungan lainnya yang ditujukan kepada siapapun sebagai bujukan untuk
melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak sah atau pelanggaran kepercayaan,
dalam tindakan berbisnis. Tindakan suap atau penyogokan merupakan upaya
mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar dan tidak sah. Yang
dimaksud dengan ‘tidak wajar’ dan ‘tidak sah’ adalah ketika terjadi konversi
dana atau barang yang diberikan menjadi kekuasaan untuk mengambil keputusan
yang bersifat tidak adil dan tidak transparan.
Suap
merupakan tindakan yang bukan saja tidak mengikuti kaidah etika bisnis tetapi
juga memiliki implikasi hukum, khususnya bila suap dilakukan pada pegawai
negeri atau pejabat negara sebagaimana tertuang dalam naskah Undang Undang
20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa
faktor yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu:
- Faktor kebutuhan
Merupakan
faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk
memiliki sesuatu namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya.
- Faktor tekanan
Merupakan
faktor yang biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau
bahkan atasan sendiri yang tidak bisa dihindari.
- Faktor kesempatan
Merupakan
faktor yang biasanya dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan
memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya,
walaupun dengan cara yang salah dan melanggar undang – undang.
- Faktor rasionalisasi
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati / walikota, ditingkat kabupaten /
kota atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila
memiliki rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia seorang pejabat
pemerintahan.
Untuk menangani hal di atas,
diperlukan dukungan dan tindak yang tegas baik dari pemerintah sendiri maupun
dari masyarakat sekitar. Adanya sanksi hukum yang jelas, terbuka, transparan
dengan kedudukan yang sama untuk setiap orang, baik pejabat atau masyarakat.
Dampak korupsi terhadap bisnis dan
perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan
meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan
ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang
dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi
oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi perusahaan swasta, korupsi
berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat
sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran
suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari
kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam
persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan –
perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya
yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian
perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat
akan semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk
kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri
sendiri.
Pengaruh
Korupsi terhadap kegiatan bisnis :
- Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
- Korupsi menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
- Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Cara Memberantas Tindak Pidana Korupsi :
- Strategi Preventif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-halyang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yangterindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkanpenyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapatmeminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya inimelibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil danmampu mencegah adanya korupsi.
- Strategi Deduktif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agarapabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebutakan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya danseakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengandasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepatmemberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangatmembutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
- Strategi Represif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkanuntuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepatkepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiranini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikandan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapatdisempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebutdapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harusdilakukan secara terintregasi.
4.1.
Penyebab Terjadinya Korupsi
Dari
aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan
untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat.
Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat.
Keseluruhan
dampak dari tindakan korupsi dalam ilmu kriminologi, dipastikan dapat terjadi
karena dua hal, yakni:
- Pertama, adanya niat (Intention). Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb.
- Kedua, adanya kesempatan (Moment). Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll..
Berkaitan dengan itu, Robert
Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat
dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi,
M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan, D=Discreation/Kewenangan,A=Accountability/pertanggungjawaban).
Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan
monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki
kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada
pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga
bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah
kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi
korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Singh (1974), dalam
penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni:
kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan
struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan
adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau
pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga,
sanak saudara dan teman.
Di sisi lain
Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu:
Pertama, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi
yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan
yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana
berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan
moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak
menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.
Pada
akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi
fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan
ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat
ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini
tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah
dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene
adalah korban dari kebijakan segelintir orang
4.4 Contoh Kasus
DEMOKRASI yang kita
bangga-banggakan selama ini, pada satu sisi tidak membawa dampak menggembirakan
bagi bangsa. Reformasi politik, diakui atau tidak, telah menciptakan demokrasi
secara langsung, kebebasan berpendapat, dan desentralisasi kekuasaan melalui
otonomi daerah. Tetapi siapa nyana ternyata moral pejabat telah berada pada
titik yang sangat mengkhawatirkan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Utama
(PBNU), KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Jumat (11/10) mengatakan, banyaknya
kasus korupsi belakangan ini menunjukkan moralitas pejabat kita sudah merosot.
“Apa artinya demokrasi kalau
para pejabatnya korup dan rakyat tidak percaya lagi pada penegak hukum? Untuk
membangun kembali kewibawaan hokum, kita perlu gerakan reformasi total termasuk
reformasi moral,” katanya.
Dia menambahkan, bangsa ini juga
memerlukan nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Said Aqil Siroj
berpendapat, reformasi hukum terutama pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) masih tersendat. Jika mau jujur mengatakan demokrasi yang kita
bangun pasca-Orde Reformasi malah melahirkan sejumlah persoalan yang membuat
kita prihatin. Salah satu wujud demokrasi yang sering kita puji adalah
desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Kepala daerah dipilih
langsung. Namun, siapa sangka dalam perjalanan pemilihan kepala daerah
(pilkada) langsung malah melahirkan banyak sengketa. Akhirnya, bisa ditebak
kemudian munculnya sengketa pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK)
memunculkan peluang korupsi. Kasus ditangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, di
rumah dinasnya pada 3 Oktober 2013 karena diduga telah menerima suap terkait
sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menjadi contoh paling
anyar. Namun, lepas dari kasus tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa moral
pejabat negara telah berada pada titik nadir yang membahayakan. Kita mencatat
sebelum mencuatnya kasus Akil Mochtar juga terdapat pejabat negara (termasuk
tokoh partai politik dan pejabat tinggi di Polri), masuk dalam deretan pejabat
yang bermoral buruk.
Masyarakat masih ingat pada Anas
Urbaningrum, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. Lalu, ada pula Mantan
Menpora Andi Mallarangeng yang Jumat (11/10) gagal ditahan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Kedua tokoh ini terlibat dalam kasus proyek Hambalang, Bogor.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga
menggemparkan para kader partai Islam ini. Betapa tidak mengejutkan, Luthfi
bersama Ahmad Fathanah didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 1,3
miliar, bagian dari total imbalan Rp 40 miliar yang dijanjikan Dirut PT
Indoguna Utama terkait pengurusan persetujuan penambahan kuota impor daging
sapi. Kasus lainnya terjadi pada Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan
Kepala Korps Lantas Polri Irjen Djoko Susilo. Irjen Djoko telah divonis Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Semua hartanya terancam disita Negara. Melihat serangkaian kasus korupsi yang
dilakukan pejabat negara termasuk tokoh partai politik dan kalangan akademikus
itu, benar adanya moral pejabat di negeri ini sudah merosot bukan kepalang.
Meski mereka sudah menduduki jabatan tinggi dan bergaji besar, tetapi masih
bernapsu memperbanyak harta dengan cara tidak halal. Kondisi ini menggambarkan
krisis moral benar-benar melanda negeri ini. Herannya lagi, dalam kesehariannya
para koruptor tersebut aktif menjalankan ritual keagamaan, namun hatinya dekat
dengan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi terus dilakukan dengan sadar. Tepat
seperti yang dikemukakan Ketua PBNU, KH Said Aqil Siroj, sudah saatnya bangsa
ini memerlukan reformasi moral, nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan.
Tentunya ini menjadi tugas para pemuka agama untuk selalu mengingatkan melalui
pesan-pesan moral. Langkah itu juga harus dibarengi dengan penegakan hukuman
yang berat bagi para pejabat negara yang terbukti korupsi. Reformasi hokum,
terutama pemberantasan KKN, sudah harus menjadi harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi.
Kasus yang ada di indonesia saat
ini adalah :
1.
KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal terseretnya
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi. Meskipun tak
menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro, Atut bisa
jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
“Ya, benar
begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya, Senin, 18
November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu bicara soal
adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus dugaan korupsi
proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel. (Baca: Pelapor
Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
Menurut
Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang
ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara
kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak
ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON
Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi
tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja,
kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
Terhitung 11
November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel. Ketiganya
adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo Adiguna
Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan suami
Airin.
2.
Ini alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus suap SKK Migas
Wakil Ketua
KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya memang tengah mendalami peran PT
Pertamina dalam kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK
memanggil Direktur Utama Karen G Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.
“Jadi memang
kami mempelajari keterlibatan Pertamina dalam penjualan, pelelangan, tender di
SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin (18/11) malam.
Menurut
Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka.
Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut belakangan ini dari keterangan
dan pemeriksaan kasus ini.
“Dia kan
muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.
Namun, Busyro
belum berani memastikan apakah Karen akan menjadi tersangka berikutnya. Karena
Karen masih baru menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali dipanggil
KPK.
“Karen ini
kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.
Dalam dakwaan
Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei 2013 PT Pertamina mengikuti rapat
bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas dan SKK Migas. Rapat itu
disimpulkan, Kondensat Senipah bagian negara dengan volume 300 ribu barel tidak
dapat diolah Kilang Pertamina. Sebab, adanya keterbatasan penyerapan kilang
atas volume Kondensat Senipah yang tersedia. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan pendapatan negara, maka rapat memutuskan dilakukan lelang
terhadap Kondensat Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk mendapat penawaran
terbaik. Dalam dakwaan Simon juga terungkap Kernel Oil menyuap buat mendapat
jatah Kondensat Senipah. PT Pertamina juga diketahui pernah bekerja sama dengan
PT Parna Raya Group dalam pengadaan BBM bersubsidi untuk nelayan. Komisaris PT
Parna Raya Artha Meris Simbolon sendiri, saat ini pun telah dicegah KPK.
3.Upaya pemerintah dalam memberantas
korupsi !!
Salah satu
isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia
adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi
di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia
disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah
ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat
tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan
yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam
dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui
berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek
korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara,
dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan
pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi
masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan
berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping
pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan
yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan
kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh
penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan
melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain
adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan
Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Dampak
korupsi Bagi perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan,
ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan
dirugikan, seperti tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain
itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari
masing – masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini
diakibatkan karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak
akan menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini
dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan
dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di
Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan
harta dan mementingkan diri sendiri.
5.2 SARAN
Hukum di
negara yang mengatur tentang korupsi harus lebih kejam agar para-para koruptor
jera dan tidak bisa melakukan kegiata korupsi lagi yang merugikan semua pihak
ini
SUMBER:
http://www.tempo.co/read/news/2013/11/19/063530678/KPK-Beri-Isyarat-Ratu-Atut-Terseret-Kasus-Korupsihttp://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-kpk-panggil-dirut-pertamina-di-kasus-suap-skk-migas.html